Saat seseorang berbicara di depan publik, maka akan
banyak tipe publik yang akan kita hadapi, mulai dari tipe yang terlihat
mendukung sampai mengintimidasi si pembicara. Jika saja semua audiens bersikap
mendukung maka itu yang biasanya menambah kepercayaan diri si pembicara, namun
kenyataannya justru seringkali audiens yang hadir adalah tipe yang
mengintimidasi atau “paling tidak” menurut pemikiran pembicara begitu. Biasanya
tipe audiens yang demikian atau “dianggap demikian” adalah Bos kita di kantor,
Senior kita, orang yang lebih berpengalaman, yang memiliki gelar lebih banyak
dari kita.
Saya sengaja memasukan kata “paling tidak” dan
“dianggap demikian” dalam paragraf diatas karena sering terjadi justru
sebenarnya yang mengintimidasi adalah pemikiran kita sendiri terhadap audiens
tersebut. Kita sudah memiliki penilaian terlebih dahulu terhadap audiens,
bahkan sebelum audiens tersebut menilai kita. Dalam banyak kasus seperti ini,
sering juga terjadi pemikiran tersebut timbul saat kita berbicara sementara
bahasa tubuh audiens kita ‘pikir’ tidak suka dengan materi kita sehingga
akhirnya kita sendiri yang terintimidasi. Dalam tulisan ini saya hendak berbagi
bahwa baik kepada audiens yang memang benar-benar mengintimidasi ataupun karena
pemikiran negatif kita saja namun “the show must go on”, karenanya sebagai
pembicara kita harus mengambil alih otoritas saat kita tampil.
Salah satu pengalaman saya yang tidak akan terlupakan
adalah saat saya berbicara di hadapan seluruh Humas Polri di PTIK, mulai dari
Kadiv Humas POLRI (kala itu Bpk. Edward Aritonang), seluruh Kabid Humas Polda dan jajaran humas di bawahnya
yang jumlah total audiensnya sekitar 150 peserta. Saya ketika itu juga baru
sembuh dari penyakit Demam Berdarah sehingga di dalam badan saya mengalir
keringat dingin gabungan antara keadaan tubuh yang baru sembuh dengan
ketegangan berbicara di hadapan audiens tadi.
Perasaan terintimidasi mulai terasa ketika saya
memulai acara dimana semua peserta tampak mengikuti respon dari pimpinan mereka
yang duduk di bagian paling depan (seluruh kabid humas Polda), yang artinya
jika pemimpin mereka diam maka yang lain pun diam, dan jika pemimpin mereka
tersenyum maka mereka tersenyum. Saya semakin terintimidasi karena sebelum
acara, di briefing bahwa penampilan saya
ini sebagai pilot project sekaligus ujung tombak perusahaan training tersebut
apakah akan mendapat “program berkelanjutan” dari Kepolisian Republik Indonesia
atau tidak.
Saya memulai penampilan dengan berusaha meraih
perhatian mereka agar lebih rilex, namun karena keliatannya saya juga tegang
(terlihat dari suara saya yang bergetar dan keringat yang terus mengucur) semua
auidens tidak merespon sebagaimana yang saya inginkan. 15 Menit awal berlalu
dan ketegangan semakin menjadi padahal acara akan berlangsung selama 6 jam,
sampai akhirnya salah satu wakil Kabid Humas memberi saya sepucuk ‘surat cinta’
yang isinya :”tenangkan diri Valent, jangan tegang, kami mendukungmu’. Seketika
saya tersenyum kepada bapak tersebut dan berusaha menyangkal dalam diri bahwa
saya keringetan karena habis sakit, padahal sebenarnya ada dampak juga dari
ketegangan dan rasa terintimidasi.
Setelah itu saya menyadari bahwa saya kehilangan
otoritas saya karena merasa ada di bawah tekanan audiens di hadapan saya. Perasaan-perasaan
yang justru melemahkan saya sebagai pembicara, yakni “siapa saya bisa berbicara
untuk mereka?”, “polisi pasti males ikutan training”, “kalo saya jelek gimana
ni sama perusahaan saya?” dll sampai akhirnya saya merespon keadaan tersebut
untuk mengambil alih lagi otoritas yang saya miliki dengan kembali berbicara
dengan menjadi diri saya sendiri yang nyaman untuk saya tampilkan. Hasilnya?
Saya dianggap sukses, sampai hari ini dapat menjalin komunikasi dengan para
Kabid Humas tersebut, dan perusahaan lembaga training yang mempekerjakan saya
mendapatkan program berkelanjutan dimana salah satunya adalah melatih etika dan
skill komunikasi untuk Polantas Polda Metro Jaya dimana saya mendapat 12 batch
untuk saya training.
Dari pengalaman saya tadi jelas bahwa siapapun yang
menjadi audiens kita saat jadi pembicara, otoritas haruslah ada pada pembicara
karena di momen tersebut, semua yang hadir siapapun mereka, apapun jabatannya,
berapapun usianya, mereka semua dalam posisi mendengarkan kita.
2 hal yang dapat saya bagikan untuk bisa mengatasi
pikiran atau perasaan terintimidasi saat kita berbicara adalah:
1.
Naked Listeners
Memang benar bahwa audiens kita bisa
saja orang-orang yang ada di ‘atas’ kita, namun saat kita berbicara mereka
semua sedang mendengarkan kita. Karenanya, naked listeners berbicara tentang
menganggap semua pendengar adalah sama derajatnya dari baris paling depan
sampai belakang dan sederajat dengan kita sang pembicara. Dengan memandang
seperti itu kita bisa tampil lebih lepas seperti biasanya kita
2.
Naked Speaker
Setelah memandang audiens sederajat,
sekarang semua ada pada diri kita sendiri sebagai pembicara, apakah kita mau
menjadi orang lain atau menjadi diri sendiri. Kalau saya memilih sebagai diri
sendiri dengan ciri khas yang memang saya miliki sebagai pembicara. Ciri khas
didapat dari kekuatan kita menampilkan diri sebagai pembicara, ada yang lucu,
tegas, elegan, kreatif dsb.
Demikian tulisan saya kali ini, semoga membantu anda
yang mengalami masalah seperti saya tadi dan mencegah anda dari pengalaman saya
tadi bagi anda yang belum mengalaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar