Rabu, 21 Agustus 2013

OTORITAS PEMBICARA

Saat seseorang berbicara di depan publik, maka akan banyak tipe publik yang akan kita hadapi, mulai dari tipe yang terlihat mendukung sampai mengintimidasi si pembicara. Jika saja semua audiens bersikap mendukung maka itu yang biasanya menambah kepercayaan diri si pembicara, namun kenyataannya justru seringkali audiens yang hadir adalah tipe yang mengintimidasi atau “paling tidak” menurut pemikiran pembicara begitu. Biasanya tipe audiens yang demikian atau “dianggap demikian” adalah Bos kita di kantor, Senior kita, orang yang lebih berpengalaman, yang memiliki gelar lebih banyak dari kita.

Saya sengaja memasukan kata “paling tidak” dan “dianggap demikian” dalam paragraf diatas karena sering terjadi justru sebenarnya yang mengintimidasi adalah pemikiran kita sendiri terhadap audiens tersebut. Kita sudah memiliki penilaian terlebih dahulu terhadap audiens, bahkan sebelum audiens tersebut menilai kita. Dalam banyak kasus seperti ini, sering juga terjadi pemikiran tersebut timbul saat kita berbicara sementara bahasa tubuh audiens kita ‘pikir’ tidak suka dengan materi kita sehingga akhirnya kita sendiri yang terintimidasi. Dalam tulisan ini saya hendak berbagi bahwa baik kepada audiens yang memang benar-benar mengintimidasi ataupun karena pemikiran negatif kita saja namun “the show must go on”, karenanya sebagai pembicara kita harus mengambil alih otoritas saat kita tampil.

Salah satu pengalaman saya yang tidak akan terlupakan adalah saat saya berbicara di hadapan seluruh Humas Polri di PTIK, mulai dari Kadiv Humas POLRI (kala itu Bpk. Edward Aritonang), seluruh Kabid  Humas Polda dan jajaran humas di bawahnya yang jumlah total audiensnya sekitar 150 peserta. Saya ketika itu juga baru sembuh dari penyakit Demam Berdarah sehingga di dalam badan saya mengalir keringat dingin gabungan antara keadaan tubuh yang baru sembuh dengan ketegangan berbicara di hadapan audiens tadi.
Perasaan terintimidasi mulai terasa ketika saya memulai acara dimana semua peserta tampak mengikuti respon dari pimpinan mereka yang duduk di bagian paling depan (seluruh kabid humas Polda), yang artinya jika pemimpin mereka diam maka yang lain pun diam, dan jika pemimpin mereka tersenyum maka mereka tersenyum. Saya semakin terintimidasi karena sebelum acara,  di briefing bahwa penampilan saya ini sebagai pilot project sekaligus ujung tombak perusahaan training tersebut apakah akan mendapat “program berkelanjutan” dari Kepolisian Republik Indonesia atau tidak.

Saya memulai penampilan dengan berusaha meraih perhatian mereka agar lebih rilex, namun karena keliatannya saya juga tegang (terlihat dari suara saya yang bergetar dan keringat yang terus mengucur) semua auidens tidak merespon sebagaimana yang saya inginkan. 15 Menit awal berlalu dan ketegangan semakin menjadi padahal acara akan berlangsung selama 6 jam, sampai akhirnya salah satu wakil Kabid Humas memberi saya sepucuk ‘surat cinta’ yang isinya :”tenangkan diri Valent, jangan tegang, kami mendukungmu’. Seketika saya tersenyum kepada bapak tersebut dan berusaha menyangkal dalam diri bahwa saya keringetan karena habis sakit, padahal sebenarnya ada dampak juga dari ketegangan dan rasa terintimidasi.
Setelah itu saya menyadari bahwa saya kehilangan otoritas saya karena merasa ada di bawah tekanan audiens di hadapan saya. Perasaan-perasaan yang justru melemahkan saya sebagai pembicara, yakni “siapa saya bisa berbicara untuk mereka?”, “polisi pasti males ikutan training”, “kalo saya jelek gimana ni sama perusahaan saya?” dll sampai akhirnya saya merespon keadaan tersebut untuk mengambil alih lagi otoritas yang saya miliki dengan kembali berbicara dengan menjadi diri saya sendiri yang nyaman untuk saya tampilkan. Hasilnya? Saya dianggap sukses, sampai hari ini dapat menjalin komunikasi dengan para Kabid Humas tersebut, dan perusahaan lembaga training yang mempekerjakan saya mendapatkan program berkelanjutan dimana salah satunya adalah melatih etika dan skill komunikasi untuk Polantas Polda Metro Jaya dimana saya mendapat 12 batch untuk saya training.

Dari pengalaman saya tadi jelas bahwa siapapun yang menjadi audiens kita saat jadi pembicara, otoritas haruslah ada pada pembicara karena di momen tersebut, semua yang hadir siapapun mereka, apapun jabatannya, berapapun usianya, mereka semua dalam posisi mendengarkan kita.
2 hal yang dapat saya bagikan untuk bisa mengatasi pikiran atau perasaan terintimidasi saat kita berbicara adalah:
1.      Naked Listeners
Memang benar bahwa audiens kita bisa saja orang-orang yang ada di ‘atas’ kita, namun saat kita berbicara mereka semua sedang mendengarkan kita. Karenanya, naked listeners berbicara tentang menganggap semua pendengar adalah sama derajatnya dari baris paling depan sampai belakang dan sederajat dengan kita sang pembicara. Dengan memandang seperti itu kita bisa tampil lebih lepas seperti biasanya kita
2.      Naked Speaker
Setelah memandang audiens sederajat, sekarang semua ada pada diri kita sendiri sebagai pembicara, apakah kita mau menjadi orang lain atau menjadi diri sendiri. Kalau saya memilih sebagai diri sendiri dengan ciri khas yang memang saya miliki sebagai pembicara. Ciri khas didapat dari kekuatan kita menampilkan diri sebagai pembicara, ada yang lucu, tegas, elegan, kreatif dsb.


Demikian tulisan saya kali ini, semoga membantu anda yang mengalami masalah seperti saya tadi dan mencegah anda dari pengalaman saya tadi bagi anda yang belum mengalaminya.

Tidak ada komentar: