Rabu, 21 Agustus 2013

Mengurangi “Filler Words” saat berbicara di depan publik

Hallo ‘teman 360 community’, di awal tulisan kali ini saya ingin meminta anda membayangkan terlebih dahulu apabila ada seseorang yang menjadi pembicara dalam suatu acara dan kira-kira pembukaannya seperti ini:
“Salam sejahtera hadirin sekalian, (eee eee), hari ini senang sekali saya (eee eee) Valentino Simanjuntak (eee eee) dapat berdiri di hadapan (mmm mmm) hadirin semua untuk berbicara tentang (mmm apa namanya) public speaking”

Ok cukup membayangkannya sampai disitu saja, karena kalau di awal bicara saja sudah sedemikian banyak filler words nya apalagi kalo pembicara tadi harus berbicara sampai 1 jam? Ratusan eee, mmm, ccck, apa namanya dll yang disebut filler words itu pasti akan terucap. Saya sering katakan dalam pelatihan bahwa ketika audiens tampaknya tertarik dengan pembicara yang banyak mengucapkan filler words maka sebenarnya itu salah besar karena audiens justru sedang bertaruh akan berapa banyak total filler words yang terucap sampai akhir pembicaraan. Hal ini tidak bisa dihindarkan audiens karena paling tidak itu dapat mengurangi dan mengusir rasa mengantuk, bosan atau bahkan kasihan karena mendengar pembicara yang seperti tadi.

Apakah anda pernah mendengar seseorang berbicara dengan banyak filler words seperti tadi? Atau justru anda juga mengalami hal yang sama? Nah, ini adalah salah satu masalah klasik dan menjadi pertanyaan terpopuler dari banyak peserta pelatihan yang saya latih, yakni bagaimana bisa mengurangi atau kalau bisa menghilangkan filler words ini?

Dalam tulisan ini saya akan memberikan tips mengurangi filler words agar anda tidak menjadi bahan taruhan dan tertawaan seperti cerita saya di awal.

Mindset “TIDAK BISA” dibuang jauh-jauh
Sebagaimana yang saya sering katakan bahwa public speaking adalah skill atau ketrampilan, yakni sesuatu yang dapat dilatih dan dikembangkan, bukan suatu hal yang hanya dapat dimiliki seseoranga dan tidak dapat dimiliki orang lain. Begitupun juga ketika anda ingin mengurangi filler words, maka mindset bahwa mengucapkan kata-kata tersebut tidak akan bisa harus dibuang terlebih dahulu. Mengapa demikian? Karena ketika pemikiran kita sudah mengatakan tidak bisa, maka juga akan mempengaruhi pemikiran bawah sadar kita, sehingga semua anggota tubuh kita sekaan menolak setiap pengajaran, pelatihan untuk dapat mengurangi filler words dari yang biasa kita ucapkan. Saya ingat ketika sedang mengikuti pelatihan public speaking, fasilitatornya mengatakan bahwa filler words bisa dikurangi karena sudah ada teknik penangkalnya, tinggal mau atau tidak kalian (kami sebagai audiens) semua melatihnya. Jadi issue nya sekarang bukanlah lagi bisa atau tidak bisa, namun mau atau tidak mau anda semua melatihnya.

JEDA
Di dalam teknik vokalisasi dalam public speaking kita mengenal teknik jeda yakni membiarkan beberapa saat keadaan hening untuk memberikan momen bagi pendengar untuk merenungkan dan memikirkan apa yang baru diucapkan oleh pembicara. Nah, jeda juga dapat memiliki fungsi bagi pembicara untuk memikirkan dengan cepat kata apa yang akan diucapkan setelah itu, daripada harus mengeluarkan filler words.

Sebagai ilustrasi dalam sebuah seminar saya mengatakan hal berikut ini:
‘Public Speaking memerlukan 3 komponen agar pesannya dapat diterima yakni pesan, suara, dan bahasa tubuh.’

Terkadang filler words muncul tanpa kita undang entah karena kebiasaan, ketika kita gugup, ketika kita lupa atau bahkan gabungan semuanya sehingga yang sebenarnya sudah dipersiapkan bahkan dihafal dapat menjadi seperti ini:
‘Public Speaking memerlukan 3 komponen agar pesannya dapat diterima yakni (eeee) pesan, suara, dan (eeee) bahasa tubuh’.

Terkadang dalam hidup walau kita sudah antisipasi hal yang kita hindari tetap terjadi, begitupula dengan kejadian di atas, walaupun sudah kita persiapkan namun tetap saja ada kejadian atau momen yang membuat kita mengucapkan filler words tersebut.

Disinilah peran dari teknik JEDA, sehingga selain tidak mengucapkan eee eee atau filler words lainnya, namun juga secara tidak sengaja dapat memberikan momen kepada audiens untuk merenungkan apa yang baru saja kita ucapkan dan menantikan apa yang akan kita ucapkan berikutnya, sehingga masi dari ilustrasi yang tadi maka kalimat tersebut akan terucap:
Public Speaking memerlukan 3 komponen agar pesannya dapat diterima yakni (jeda) pesan, suara, dan (jeda) bahasa tubuh.

Mohon diingat bahwa jeda ini dilakukan bukan karena sudah dipersiapkan sejak awal namun dilakukan untuk menghalangi mulut kita mengucapkan filler words. Tentu saja jeda ini tidak dapat dilakukan dalam waktu lama, maksimum 3 detik pembicara sudah harus melanjutkan ucapannya, kalau tidak maka audiens akan mengetahui bahwa sebenarnya jeda tersebut memang karena pembicara tidak tahu lagi atau lupa atau mati gaya mau mengatakan apa berikutnya.

MEMANJANGKAN KATA
Banyak yang ragu ketika saya memberikan teknik ini dalam pelatihan yang saya lakukan , sampai akhirnya mereka percaya ketika saya praktekan. Teknik ini sangat efektih terutama ketika momen untuk mengucapkan filler words itu terletak di kata sambung seperti; dan, serta, atau, tetapi, melaikan, padahal,sedangkan,dll. Sebagai ilustrasi untuk teknik ini saya berikan contoh kalimat yang seharusnya diucapkan: “Pembicara yang baik harus menguasai 2 hal penting yaitu menyajikan data dan menyampaikan cerita untuk dapat meyakinkan audiensnya, tetapi kebanyakan pembicara saat ini tidak peduli akan hal itu, padahal jika 2 hal tadi dipersiapkan pasti respons audiens akan lebih baik”

Kita dapat melihat dari kalimat di atas banyak digunakan kata sambung, dan sebagai pembicara kita sering terbiasa mengucapkan filler words sesaat setelah kata sambung. Teknik memanjangkan kata ini sangat membantu pembicara untuk tidak menggunakan filler words tanpa diketahui oleh audiens bahwa sebenarnya itu dilakukan oleh pembicara karena menghindari filler words yang sudah ada di ujung mulutnya untuk diucapkan. Dari kasus kalimat tadi maka pembicara bisa seperti ini pengucapannya: “Pembicara yang baik harus menguasai 2 hal penting yaitu menyajikan data dan (mmm) menyampaikan cerita untuk dapat meyakinkan audiensnya, tetapi (eeee) kebanyakan pembicara saat ini tidak peduli akan hal itu, padahal (pcck eee) jika 2 hal tadi dipersiapkan pasti respons audiens akan lebih baik”
Dengan teknik ini maka akan lebih nyaman terdengar bagi audiens , menjadi:
“Pembicara yang baik harus menguasai 2 hal penting yaitu menyajikan data da(aaaa)n menyampaikan cerita untuk dapat meyakinkan audiensnya, tetapi(iiii) kebanyakan pembicara saat ini tidak peduli akan hal itu, padaha(aaaa)l jika 2 hal tadi dipersiapkan pasti respons audiens akan lebih baik”
Teknik memanjangkan kata ini justru juga dapat memberi penekanan dari kata sambung tersebut untuk mendapat perhatian audiens. Sebenarnya dalam kata lain juga ini dapat dipergunakan, namun saya sarankan dipergunakan dalam kata sambung. Sama seperti teknik JEDA tadi, bahwa karena ini diucapkan bukan dari bagian persiapan maka jangan terlalu panjang digunakan karena justru akan mengacaukan konsentrasi audiens bahkan bisa ditertawan.

MENGULANG KATA
Teknik ketiga ini sangat mengasyikan untuk dilakukan karena teknik inilah yang memberikan waktu terlama untuk berpikir mengucapkan kata selanjutnya tanpa mengucapkan filler words sembari memberi penekanan dan hal yang mampu diingat oleh audiens. Jadi teknik ini memiliki makna ganda yang paling sama menguntungkannya antara audiens dan pembicara.

Saya akan berikan contoh ilustrasi berikut ini:
“Terdapat 4 teknik story telling dalam public speaking, yakni: Menceritakan pengalaman sendiri, menceritakan pengalaman orang lain yang kita dengar, menceritakan hal dari literatur, menceritakan hal dari karangan sendiri.

Teknik menggunakan penomoran seperti ini perlu persiapan yang khusus, karena jika kita sudah sebutkan ada 4 maka audiens akan menghitung berapa banyak kita sudah mengucapkan tekniknya, sebaliknya bagi pembicara terkadang kita ingat 4 tekniknya di mulut saja namun saat diucapkan kita bisa lupa, perlu melihat alat bantu dsb yang memancing filler words untuk diucapkan. Sehingga bisa seperti ini:
“Terdapat 4 teknik story telling dalam public speaking, yakni: Menceritakan pengalaman sendiri, (lalu aaaaa) menceritakan pengalaman orang lain yang kita dengar, menceritakan hal dari literatur, (trakir mmmm eeee) menceritakan hal dari karangan sendiri.

Saat kita sempat menunjukan diri sedang lupa atau blank audiens ada yang empati kepada kita namun ada juga yang mengejek kita dimana keduanya menurut saya sama tidak menguntungkannya bagi si pembicara. Dengan teknik ini kita dapat diberi waktu untuk mengingat kembali dan memberi kesempatan bagi audiens untuk mengulang mengatakan atau mengingat apa yang sudah kita katakana sebelumnya.

Pada contoh tadi maka akan menjadi:
“Terdapat 4 teknik story telling dalam public speaking, yakni: Menceritakan pengalaman sendiri,(menceritakan pengalaman sendiri lalu) menceritakan pengalaman orang lain yang kita dengar, menceritakan hal dari literatur, (menceritakan pengalaman sendiri, orang lain, dari literature dan terakhir) menceritakan hal dari karangan sendiri.

Teknik ini semakin efektif dilakukan sambil memberi kode dengan ekspresi wajah kita untuk mengajak audiens berinteraksi dan mengikuti kita mengulang apa yang sudah kita ucapkan, sehingga seakan-akan kita memang sudah mempersiapkan untuk melakukan ini.

Jangan lupa bahwa inipun tidak kita persiapkan untuk kita lakukan, sehingga jangan mengulang-ulang terus tanpa ada kelanjutan ucapan kita, karena hanya akan menurunkan kredibilitas kita sebagai pembicara.
Teknik-teknik di atas bisa terkesan simple bisa juga sulit tergantung dari perspektif mana kita melihat, namun yang dapat saya pastikan, seperti iklan salah satu produk minuman “trust me, it works”. Saya adalah salah satu produk sukses dari teknik diatas yang merubah kemampuan saya berbicara khususnya mengurangi filler words setiap saya bicara.

Jika saya bisa berubah dengan teknik tadi, maka anda pasti juga bisa. Yang terutama hanyalah apakah anda MAU atau TIDAK? Selamat berlatih

Tidak ada komentar: